Roma Hanya Satu Langkah dari Liga Champions

Roma Hanya Satu Langkah dari Liga Champions: Terlambatkah Mempercayai Ranieri?
Musim 2024/2025 awalnya terasa seperti mimpi buruk bagi AS Roma. Tim Ibu Kota yang dikenal memiliki sejarah dan ambisi besar ini justru terseok-seok di papan bawah klasemen. Di bawah arahan Ivan Juric, performa Roma begitu mengecewakan, hanya terpaut tiga poin dari zona degradasi saat November menjelang. Di titik nadir itulah, manajemen mengambil keputusan besar—mendatangkan Claudio Ranieri. IDCJOKER
Ranieri: Datang Saat Api Sudah Membara
Ranieri bukan nama baru di Olimpico. Ia pernah menjadi sosok yang dihormati, dan kini kembali mengemban misi berat: menyelamatkan kapal yang nyaris karam. Banyak yang meragukan, tapi sejarah membuktikan: tangan dinginnya kerap membawa perubahan.
Dan itu terbukti. Perlahan tapi pasti, Roma menjelma menjadi tim yang berbeda. Ranieri tidak membawa taktik revolusioner. Ia datang dengan kesederhanaan, namun juga dengan kejujuran yang membuat ruang ganti kembali hidup.
“Saya mengambil alih tim di momen terburuk, saat moral mereka hancur dan kehilangan kepercayaan diri,” ujarnya.
Catatan Statistik yang Menggugah
Di bawah Ranieri, Roma mencatatkan rekor tak terkalahkan selama 19 pertandingan di Serie A. Catatan itu hanya terhenti di pekan ke-36 saat harus mengakui keunggulan Atalanta. Namun statistik tak pernah berdusta. Sejak pergantian tahun, Roma meraih 49 poin dari 20 laga—tertinggi dibanding semua klub di Serie A pada periode tersebut.
Bahkan jika dihitung sejak Ranieri datang, Roma mengoleksi 53 poin. Angka yang identik dengan yang diraih Inter Milan dan Napoli dalam rentang waktu yang sama. Sebuah transformasi luar biasa dari klub yang semula nyaris terperosok ke Serie B.
Satu Poin yang Menyesakkan
Namun, mimpi itu harus tertunda. Roma finis di posisi kelima, hanya terpaut satu poin dari Juventus yang mengunci tiket terakhir ke Liga Champions. Satu poin yang membuat banyak orang bertanya—bagaimana jika Ranieri direkrut lebih awal?
Namun pelatih berusia 73 tahun itu menjawab dengan elegan.
“Saya kira kami tidak bisa menargetkan lebih tinggi lagi. Ada perubahan besar, tapi itu bukan evaluasi yang adil,” katanya dalam wawancara dengan Football Italia.
Ia tidak menyalahkan masa lalu. Tidak pula menyusun narasi dramatis tentang ‘andai-andai’. Yang ia sampaikan justru kejujuran: bahwa misi utamanya adalah mengembalikan semangat.
Kepercayaan yang Dibalas dengan Loyalitas
Bagi Ranieri, hasil akhir bukan satu-satunya tolok ukur. Yang terpenting adalah bagaimana para pemain merespons. Ia menyebut tim ini telah memberikan segalanya, bahwa kekalahan hanya dua kali sejak kekalahan dari Como dan Atalanta adalah bukti bahwa Roma tidak kehilangan arah.
Ia pun menyampaikan apresiasi kepada para fans. Dukungan dari tribun menjadi bahan bakar yang memperkuat mental para pemain di saat mereka paling membutuhkannya.
“Fans mendukung saya, karena mereka tahu saya jarang berbohong atau menjual drama. Mereka bisa mempercayai saya,” katanya tegas.
Masa Depan: Sebuah Pertanyaan Terbuka
Kini, pertanyaan yang menggantung bukan soal masa lalu, melainkan masa depan. Apakah Ranieri akan bertahan? Apakah manajemen akan mempercayainya untuk memimpin tim ke Liga Champions musim depan?
Roma sudah membuktikan bahwa mereka bisa, asalkan diberi waktu dan kepercayaan. Namun sepak bola tak hanya tentang logika. Ia juga tentang keputusan, keberanian, dan terkadang, perjudian.
Penutup: Lebih dari Sekadar Poin
AS Roma musim ini adalah cerita tentang kebangkitan. Tentang bagaimana sebuah tim yang nyaris tenggelam, bisa mengarungi ombak dan nyaris mencapai daratan Eropa tertinggi. Bahwa mereka gagal memang benar. Tapi bahwa mereka telah berjuang sekuat tenaga, itu juga fakta.
Satu poin memang tak cukup untuk tiket Liga Champions. Tapi satu musim di bawah Ranieri telah cukup untuk mengembalikan jati diri.
Dan kadang, dalam sepak bola seperti dalam hidup, keajaiban tidak selalu datang tepat waktu. Tapi ketika ia datang, kita tahu bahwa semuanya layak diperjuangkan.